Reformasi Komunitas Buddhis

Selama satu dekade ini, pers Muangthai melaporkan adanya skandal dalam Buddhisme di sana. Skandal mengenai vihara yang kaya, Dhammakaya, merupakan usikan dan tantangan bagi Sangha Thai. Bhikkhu Santikaro, dalam tulisannya "What Ails Thai Buddhism" dalam majalah Asiaweek, edisi 4 Juni 1999, memaparkan kurangnya pengertian dalam masyarakat Thai mengenai Sangha. Banyaknya campur tangan dari politisi, akademisi, pengusaha dan bhikkhu senior, mengakibatkan hilangnya visi mengenai Sangha.

Bhikkhu Santikaro memaparkan penyebab dan keterkaitan antar mereka:

  1. Interferensi dan dominasi pemerintah: Penyebab utama lemahnya Sangha adalah kontrol yang agresif dari pemerintah Thai, khususnya yang bersifat korup dan kejam. Bhikkhu menjadi pasif dan takut. Mereka jatuh dalam kendali orang kaya, politisi dan petinggi negara. Mereka tidak dapat mengembangkan hubungan simbiosis dengan penduduk.
  2. Feodalisme: Hirarki monastik yang serupa struktur feodal dan tergantung dari hilangnya budaya agraris. Hal ini tidak mencerminkan kenyataan dan aspirasi masyarakat Thai, termasuk mayoritas bhikkhu.
  3. Patriarchal sexism: Hirarki menolak untuk melakukan pentahbisan bhikkhuni.
  4. Otoriter: Ketakmampuan menolak bhikkhu senior yang berpengaruh yang kaya, yang biasanya disokong pemerintah, sehingga perintah dituruti saja. Sangha seharusnya dapat bekerja dengan generasi muda dan mayoritas bhikkhu yang tinggal di pedesaan (rural areas)
  5. Kurangnya ketrampilan berorganisasi: Posisi bhikkhu diperoleh dengan kemampuan mengingat tatabahasa Pali (bukan pada teks dan ajaran) dan bekerja di bawah pengayoman Sangha. Dalam proses seperti ini, ketrampilan administratif jarang dikembangkan.
  6. Pendidikan yang ketinggalan jaman: Reformasi pada awal abad ini seolah-olah tak tersentuh. Reformasi selanjutnya pada awal periode demokrasi (setelah 1932) dibersihkan oleh diktator militer. Bhikkhu senior tidak dapat mengerti, dan takut, bahwa setiap sistem yang baru tidak dapat dikontrol. Pendidikan monastik tertinggal jauh dari sistem sekuler yang telah lemah.
  7. Monetarisasi: Uang telah mendapatkan peranan penting dalam seluruh level Sangha. Sementara ajaran Buddha sejati mengajarkan barter di antara mereka sendiri, pada kenyataannya ditemukan bhikkhu dengan akun bank yang besar. Sedangkan bhikkhu yang "ketat dan disiplin" tetap tidak menyentuh uang.

Bhikkhu Santikaro juga memberikan contoh, jika kita meminta bhikkhu membacakan paritta pada pemakaman, kita mesti menyediakan uang. Juga posisi dapat dibeli dengan uang. Tapi, ia juga memberikan contoh yang melegakan, bahwa masih terdapat bhikkhu (development monk) yang aktif pada desa-desa dan ekosistem. Juga bhikkhu yang tinggal di hutan (forest monk) yang tak tersentuh sifat konsumerisme dari masyarakat Thai yang modern. Ia juga mengharapkan agar para politisi dan birokrat menghentikan eksploitasi atas Sangha demi kepentingan pribadi.

Tulisan dalam majalah Asiaweek ini menunjukkan bahwa Buddhisme itu mengalami pasang surut dalam sejarah. Dalam Buddhisme Theravada yang memegang teguh tradisi dan melestarikan ajaran Buddha, memang doktrin yang diajarkan Sang Buddha itu tidak perlu di-reformasi karena sudah benar dan bertahan selamanya. Yang perlu di-reformasi mungkin kehidupan komunitas Buddhis. Kemajuan teknologi, hilangnya batas-batas antar-negara menciptakan masyarakat global (borderless society). Keengganan Sangha untuk menyentuh kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi dapat dianggap sebagai kemunduran dalam pembabaran dhamma. Bhikkhu harus tetap melaksanakan vinaya dengan ketat, tapi juga mempelajari teknologi dan kehidupan modern agar ceramah dhamma-nya menyentuh kehidupan sehari-hari umat awam.

Tulisan ini perlu direnungkan umat Buddha Indonesia, apakah reformasi politik dalam negeri akan mempengaruhi komunitas Sangha dan umat awam, upasaka/upasika. Apakah pemerintahan yang baru nanti akan menerapkan kontrol yang ketat atas kehidupan beragama di Indonesia dengan birokrasi dan intervensi pemerintah? Apakah ketakutan di bawah kehidupan Orde Baru selama 32 tahun dapat dibuang dan menempatkan agama Buddha selayaknya dalam persada nusantara ini? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pembaca sekalian, juga para aktivis, Sangha, anggota legislatif, dan umat awam.

Surabaya, 5 Juni 1999