Renungan untuk umat Buddha dari etnis Tionghoa

(menjelang HUT Proklamasi 1998)

 

Pembicaraan dan perdebatan mengenai etnis Tionghoa di Indonesia seakan tidak ada habisnya. Aspek negatif dan positif dikemukakan tapi masih menyimpan bara dalam sekam. Kerusuhan 13-15 Mei 1998 merupakan puncak dari segala bentuk kebodohan dan ketidaktahuan masyarakat dan diadu domba demi kepentingan politik tertentu. Pembakaran, penjarahan, pembunuhan dan perkosaan atas etnis Tionghoa meninggalkan kerugian material dan psikologis yang sangat besar. Setengah abad Indonesia merdeka tapi masih dikungkung ketidaktahuan akibat sensor informasi dari dalang-dalang yang piawai.

Perkosaan atas dasar kebencian etnis tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Bangsa Indonesia tidak menghadapi musuh asing yang tampak melainkan mengatasi perang batin dalam negerinya. Pada jaman Orde Baru yang meletakkan ekonomi sebagai panglima ternyata meninggalkan bilur-bilur kesenjangan. Pemusatan kekuatan atas ekonomi dan pertumbuhan menciptakan polarisasi perekonomian masyarakat atas dan bawah. Pemerintah tidak menjalankan pemerataan atas perekonomian bangsa dengan sewajarnya. Hal ini tampak dari kota-kota yang maju dan tidak maju. Pemerintahan propinsi tidak mendapatkan perhatian yang adil karena sistem pemusatan finansial dan politik di ibukota negara, atau pulau Jawa.

Kerusuhan dengan sasaran etnis Tionghoa

Kerusuhan atas dasar kebencian ras telah ada sejak lama. Kerusuhan suku Dayak dan Madura di Kalimantan menunjukkan perlakuan terhadap suku setempat. Kerusuhan lainnya menyerang etnis Tionghoa dengan dalih kesenjangan ekonomi masyarakat.

Meskipun negara Indonesia mengenyam kemerdekaan lebih dari 50 tahun, pola pikir feodal dan kolonial masih melekat pada sebagian petinggi dan masyarakat pada umumnya. Kebijakan pemerintah terdahulu yang mengekang etnis Tionghoa pada bidang politik, militer, pemerintahan hanya menciptakan citra bahwa etnis Tionghoa hanya bergelut pada bidang bisnis saja. Lebih jauh lagi, didukung oleh fakta historis bahwa pemerintah kolonial Belanda juga menciptakan bahwa etnis Tionghoa itu hanya bangsa pendatang, pedagang dan tidak memiliki hak-hak istimewa. Pengebirian atas hak-hak etnis Tionghoa menciptakan mereka menjadi suku yang tangguh di Indonesia. Mereka harus berjuang keras untuk hidup di sini. Pola pikir bahwa ekonomi sebagai panglima ternyata menempatkan mereka pada garis terdepan, baik sebagai ujung tombak ekonomi mau pun sebagai sasaran empuk atas kepincangan ekonomi bangsa.

Mereka menjadi tangguh dalam bidang usaha dan mendekati petinggi-petinggi negara untuk memperluas dan melanggengkan usahanya. Benih-benih KKN telah lahir. Tidak saja etnis Tionghoa yang terlibat menjadi mesin pencetak uang, pengusaha bumi putera juga mendekati pusat-pusat kekuasaan untuk membangun kerajaan bisnisnya. Pusat kekuasaan dan pusat bisnis melupakan kebijakan pemerataan hasil bumi beserta isinya, yang mengakibatkan perekonomian biaya tinggi dan mencekik wong cilik.

Mendekatnya era globalisasi dan dunia nirbatas (borderless) memunculkan paradigma baru, informasi sebagai panglima. Sementara para petinggi yang telah lama duduk di singgasana merasa keenakan dan enggan turun, mereka juga disensor dari sudut informasi. Penyensoran informasi akan melegitimasi kekuasaan yang ada dan pembenaran atas sesuatu yang keliru. Pemegang kekuasaan akhirnya tidak tahu sesungguhnya informasi yang benar. Informasi yang bagus-bagus saja berdatangan ke arah mereka.

Sensor informasi ternyata tak dapat berjalan langgeng. Mahasiswa sebagai benih-benih intelektual bangsa mulai bergerak dan menuntut reformasi atas segala bidang. Mereka tidak bisa dibutakan oleh informasi yang menyesatkan. Kekuasaan yang lama bertahta mulai digoyang. Korupsi, kolusi dan nepotisme para penguasa mulai disorot. Teori mencari kambing hitampun dimulai. Etnis Tionghoa yang secara politik mandul mulai dianggap menciptakan krisis moneter. Ketidaktahuan masyarakat yang memang buta informasi ini dijadikan alat untuk mengejar ambisi politik tertentu. Kerusuhan pun mulai disulut oleh dalang-dalang terlatih. Etnis Tionghoa yang notabene tidak memiliki pondasi politik yang kokoh dan keamanannya pun tidak terjamin, menjadi korban pembakaran, penajarahan dan perkosaan. Sementara aktor-aktor KKN nya pun tenang-tenang saja. Kekuasaan, uang dan informasi masih memegang peranan dalam mengamankan KKN.

Puncak kerusuhan bulan Mei 1998 membuka mata bangsa Indonesia dan dunia, bahwa etnis minoritas di Indonesia memang mendapat diskriminasi. Dalang kerusuhan ini mesti diajukan sebagai penjahat perang. Undang-undang anti-diskriminasi ras harus diwujudkan dan dijalankan di Indonesia. Etnis Tionghoa harus mendapat perlakuan yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya, seperti Arab dan India dan suku-suku bangsa lainnya seperti Jawa, Madura, Dayak dan lainnya. Noda hitam yang diciptakan oleh rejim Orde Baru harus dihapuskan dari sejarah Indonesia.

Menuju integrasi etnis Tionghoa di Indonesia

Pembauran yang sering didengung-dengungkan adalah membuang semua atribut yang berbau Cina atau pun kecina-cinaan, seperti ganti nama, ganti agama, tidak boleh merayakan Imlek, tidak boleh berbahasa Mandarin dan sejenisnya. Pembauran di negara manapun tidak pernah diminta membuang semua atribut dirinya. Pembauran berat sebelah malah akan menimbulkan kecurigaan kedua belah pihak.

Pembahasan masalah pembauran pri dan non-pri dari satu sisi saja tidak cukup. Etnis Tionghoa di Indonesia tidak lagi pro ke RRC, tidak lagi pro komunis dan tetap setia kepada negara Indonesia. Etnis Tionghoa hanya dibuat terasing di negaranya sendiri oleh kebijakan yang merugikan oleh rejim sebelum reformasi. Ketimpangan ekonomi negara ini dilakukan oleh segelintir penguasa dan konglomerat brengsek, bukan oleh etnis Tionghoa Indonesia. Kesalahkaprahan yang berakibat fatal dan harus dibayar mahal. Indonesia menjadi sorotan PBB atas pelanggaran hak asasi dan perkosaan yang diajukan sebagai penjahat perang.

Pembauran dan integrasi etnis di Indonesia sebaiknya menyadari fakta-fakta yang ada:

Integrasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia dapat mengambil wujud tindakan konkret sebagai berikut:

Agama Buddha tidak identik dengan etnis Tionghoa

Tersendatnya pembabaran dhamma Sang Buddha di bumi Indonesia karena adanya kesalahkaprahan masyarakat atas citra agama Buddha. Agama Buddha selalu dikonotasikan dengan etnis Tionghoa. Padahal, merujuk atas sejarah berdirinya agama Buddha di India, etnis Tionghoa belum berperan. Masyarakat Indonesia sebagian besar memandang agama Buddha merupakan keprecayaan Tionghoa. Mereka menyamaratakan arti vihara, cetiya dan kelenteng. Ditambah lagi, tidak adanya pembabaran dhamma dalam budaya asli Indonesia. Belum atau hampir tidak terdengar adanya kiprah agama Buddha dalam dunia seni dan budaya, misalnya pembabaran dhamma melalui wayang, tari-tarian, lukisan dan media lainnya. Penyampaian dhamma melalui lagu-lagu telah ada di Indonesia.

Sejarah perkembangan agama Buddha di Indonesia pernah ditandai dengan laporan rahib (bhikkhu) dari Cina, tapi penyebaran dan akulturasi agama dengan budaya Indonesia dilakukan oleh penduduk setempat. Melihat dari kejayaan agama Buddha dalam era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, seharusnya agama Buddha merupakan agama yang paling dapat diterima dan beradaptasi dengan budaya Indonesia. Kebangkitan kembali agama Buddha sekitar dasawarsa 1960-an menimbulkan harapan baru dan juga pandangan bahwa agama Buddha itu baru di bumi pertiwi ini; dengan kata lain, agama Buddha agak terasing dengan budaya sekitarnya. Para pemuka dan pemimpin agama Buddha di nusantara seyogyalah menyadari hal ini dan melakukan reformasi pada saat-saat sekarang ini.

Beberapa kesalahkaprahan persepsi umat terhadap agama Buddha adalah mereka memandangnya dengan perspektif non-Buddhis. Kadangkala umat Buddha dan panditanya menerangkan dengan cara pandang agama lain, misalnya mengenai "ketuhanan" dan "penyelamatan". Umat Buddha yang menjalankan kepercayaan Tionghoa akan menerangkan hal yang berbeda dengan doktrin agama Buddha menurut Tipitaka.

Rekan-rekan sedhamma, seyogyanya umat Buddha, apakah dari etnis Tionghoa atau bukan, mulai dapat memilah-milah mana yang merupakan doktrin agama Buddha dan mana yang merupakan tradisi (kepercayaan). Dengan menempatkan doktrin pada saat dan tempat yang tepat, bangsa Indonesia akan dapat menerimanya dengan benar tanpa prasangka. Agama Buddha adalah agama yang universal dan perkembangannya di Indonesia haruslah dapat meningkatkan keserasian kehidupan beragama di sini.

 

Surabaya, Agustus 1997