Hidup selaras dalam dhamma, bertahan dalam krisis moneter

(Renungan Waisak 1998)

 

Lahir, sakit, tua dan mati adalah kejadian yang wajar dalam kehidupan manusia. Dua puluh lima abad yang lampau, pangeran Siddharta Gotama tidak dapat melepaskan pikirannya mengapa manusia terikat dengan lahir, sakit, tua dan mati. Ia pun bertekad mencari jalan untuk melepaskan dari lingkaran kehidupan itu. Ia meninggalkan keluarganya dan menjalani kehidupan sebagai pertapa. Ia memotong ikatannya dengan kesenangan indriawi. Ia menjalani kepercayaan membuta, yaitu dengan menyiksa diri sendiri untuk mencapai kesucian.

Pertapa Gotama melakukan penyiksaan diri yang keras guna mencapai kebijaksanaan tertinggi. Ia mengurangi makan, meningkatkan tapa yang keras, hingga tubuhnya kurus dan tampak tonjolan tulangnya. Penyiksaan diri tidaklah banyak menolong dalam pencapaian kebebasan tertinggi. Petapa Gotama pun sadar, penyiksaan diri yang ekstrim tidaklah menolong seseorang mencapai pencerahan diri. Ia pun meninggalkan tapa nya yang ekstrim dan mulai mengikuti jalan tengah.

Jalan tengah menghindari dua hal ekstrim; yaitu membuang pemuasan nafsu kesenangan indria dan menghindari keterikatan pada penyiksaan diri. Akhir dari usahanya sendiri dan tak putus asa, pertapa Gotama pun berhasil dan menjadi Buddha.

Pertapa Gotama telah mengerti akan penderitaan, asal penderitaan dan jalan untuk mengakhirinya. Ia telah berjuang bertahun-tahun untuk melepaskan dari dari kemelekatan duniawi dan menuntun umat manusia untuk mencapai kebebasan sejati. Pertapa Gotama merasa sangat sulit untuk menerangkan ajaranNya kepada umat manusia yang hati nuraninya tertutup oleh kekotoran batin. Melihat hal ini, dewa Brahma Sahampati turun dan memohon pertapa Gotama untuk membabarkan ajaranNya kepada umat manusia agar terbebas dari belenggu penderitaan.

Mulai saat itulah pertapa Gotama tergugah untuk mengajarkan dhamma kepada umat manusia. Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahan dan indah pula pada akhirnya, telah dibabarkan dan hingga kini masih relevan dalam menjawab persoalan manusia. Umat Buddha harus mempelajari dhamma yang indah ini dan mempraktikkan dalam kehidupan keseharian.

Pada bulan Waisak inilah, umat Buddha merenungkan kembali tiga kejadian agung. Kelahiran, pencapaian pencerahan sempurna dan wafatnya (parinibbana) Sang Buddha. Umat Buddha merenungkan ke dalam batin kejadian agung ini. UsahaNya agar manusia terbebas dari lingkaran penderitaan menjadi teladan yang kerapkali direfleksikan pada perayaan Waisak.

Umat manusia masih terbelenggu oleh kenikmatan duniawi. Mengurangi kemelekatan akan keinginan duniawi, seperti mengurangi ambisi mengejar kekayaan secara berlebihan, akan memberikan lebih banyak kebahagiaan. Jika manusia menyadari jalan untuk mengurangi penderitaan dirinya sendiri dan membantu mengurangi penderitaan orang lain; bangsa Indonesia akan mengalami peningkatan moral dalam kehidupan beragama dan bernegara.

Manusia harus mendengarkan dan mengikuti hati nuraninya. Penyangkalan akan hati nurani dan pembenaran tindak kejahatan mengakibatkan turunnya etika moral pada masyarakat. Kolusi, korupsi dan nepotisme yang melanda Indonesia dan diperbincangkan akhir-akhir ini, tidak dapat dipisahkan dari penyangkalan hati nurani. Pembenaran atas kesalahan kecil, seperti "korupsi itu lumrah dan bisa diterima masyarakat", menyebabkan degradasi moral; yang ujungnya akan membuat masyarakat kecil menderita.

Era globalisasi makin kencang menerpa kita. Yang tidak ikut akan tertinggal. Dunia mulai mempertipis batas-batas antarnegara yang mengakibatkan derasnya arus informasi dan barang. Proteksi ketat mulai diperlonggar. Apakah manusia mengikuti arus yang baik atau pun yang buruk tergantung dari iman (saddha) mereka sendiri. Setiap umat beragama memilih sendiri petunjuk dan tuntunan hidupnya. Agama menjadi filter terakhir dari serbuan globalis pada budaya bangsa. Dhamma menjadi tuntunan hidup umat Buddha agar tidak menyimpang dari jalan kebenaran.

Perayaan Waisak tahun ini diselimuti krisis. Sidang Umum MPR baru saja usai; mereka mempersiapkan program-program untuk menghalau badai moneter di Indonesia. Umat Buddha haruslah bersikap bijaksana dalam krisis ini. Kabinet baru bekerja keras memperbaiki perekonomian dan kehidupan berpolitik. Kritik yang membangun dan perilaku sesuai tatanan agama akan mempercepat reformasi.

Bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis moneter, haruslah mengambil jalan tengah dalam hidup berbangsa dan bernegara. Janganlah menumpuk sembako sebanyak mungkin sehingga orang lain kekurangan. Jangan pula menaikkan harga sembako sehingga tidak dapat dicapai oleh wong cilik. Bangsa Indonesia mestilah mengambil jalan tengah, hidup berkecukupan, tidak berlebihan, harga-harga barang terjangkau dan para pengusaha untung secukupnya. Janganlah keuntungan pada satu pihak akan mencekik pihak lainnya. Hidup selaras dengan dhamma akan menghindari bentrokan dan meningkatkan keserasian berbangsa.

Surabaya, 29 April 1998