Kebebasan Sejati dengan Jalan Tengah (Renungan Waisak 1997)

Sudharma, teman kita yang idealis, pindah ke Surabaya karena bekerja. Sebagai umat Buddha yang taat, ia pun mencari vihara untuk puja bakti. Kenyataan mengatakan lain, tidak ada vihara yang representatif seperti yang diimpikan sewaktu di Jakarta. Tidak ada vihara seperti Buddha Metta Arama, Menteng dan Dhammacakka Jaya, Sunter di Jakarta. Hanya diketemukan cetiya-cetiya. Umat Buddha lebih menyukai puja bakti dengan ceramah dari bhikkhu (rahib) dan romo pandita. Harus diakui, Indonesia kekurangan bhikkhu yang dapat melayani di seluruh propinsi.

Meskipun agama Buddha mengatakan vihara itu ada dalam hatimu. Tak perlu bagimu untuk muncul dan melakukan kebaktian di vihara. Sudharma menjadi gelisah. Tidak ada tempat kebaktian dan pemunculan diri dalam tempat ibadah dapat dicap aneh-aneh. Sudharma mulai menyelidiki dan mencari tempat kebaktian terdekat, dan ternyata ada di daerah Batu. Jauh sekali dari Surabaya. Perwujudan fisik dalam beribadah masih diperlukan untuk eksistensi. Bagaimana dan kapan Anda beribadah merupakan hak asasi manusia; meskipun menarik keingintahuan masyarakat. Keinginan untuk membaca doa (paritta) bersama-sama dan mendengarkan ceramah dhamma haruslah dapat disalurkan.

Timbul idenya untuk mendirikan vihara yang cukup prestise dan membanggakan arek-arek Surabaya. Meskipun umatnya sedikit, banyak yang menaruh minat akan pentingnya vihara bagi umat Buddha. Persoalan muncul, vihara ini akan mengikuti mazhab mana, Theravada atau Mahayana? Siapa yang mau menyumbang? Siapa yang mau menjadi pengurus vihara? Umat Buddha yang aktif berorganisasi tidak begitu banyak. Jika membuat keorganisasian baru, sulit mencari siapa yang mau mengurusnya. Pekerjaan sosial dengan friksi internal tentu tidak disukai. Keinginan idealis nya pun mulai memudar.

Waisak telah tiba. Semua melayangkan pandangannya ke Borobudur. Umat Buddha Surabaya yang tidak mengunjungi Borobudur tidak mudah mencari kebaktian dengan penceramah bhikkhu. Kemungkinan besar tidak ada. Teman kita, Sudharma, tidak bepergian kemana-mana. Pemilu telah dekat, kemungkinan prosesi di Borobudur dibatasi. Vihara ada dalam hatiku, hiburnya, kemelekatan harus ditanggalkan. Cerita ini hanya merupakan pengalaman segelintir umat Buddha.

Dua-puluh-lima abad yang lampau, pangeran Sidharta melakukan pelepasan diri yang teragung di dunia. Ia tidak mau menjadi raja yang terkenal dan bijaksana, ia ingin menjadi penyelamat dan pembimbing umat manusia untuk mencapai pencerahan diri. Ia pun meninggalkan keduniawian dan mulai mencari jawaban atas hidup ini: mengapa manusia sakit, menjadi tua dan mati. Apakah ada jalan untuk mencapai kebebasan mutlak. Pada bulan Waisak, umat Buddha merayakan tiga kejadian agung, yaitu saat pangeran Sidharta dilahirkan, mencapai kesucian tertinggi (menjadi Buddha) dan mangkat (atau dalam bahasa Pali disebut parinibbana). Perenungan akan kejadian ini dapat meningkatkan keyakinan akan agama Buddha.

Dalam bulan Waisak ini, umat Buddha merenungi apa yang telah dilakukan dalam hidup ini. Pelepasan diri akan objek dan kesenangan duniawi sangat diperlukan dalam dunia modern ini. Kemajuan teknologi, gaya hidup dan peningkatan kesejahteraan membuat hidup religi dinomerduakan. Manusia harus menyeimbangkan kehidupan material dan rohani. Timbulnya kehausan akan kebenaran sejati dan kebebasan sejati merupakan pertanda bahwa manusia menginginkan sesuatu yang lebih mulia daripada sekedar hidup berkecukupan. Manusia harus menemukan kebenaran paling hakiki dalam hidupnya, dan menempatkan dirinya tidak melekat pada kesenangan duniawi.

Pangeran Sidharta telah memberikan contoh terbaik, meninggalkan kemewahan dan kesenangan duniawi demi mencari kebebasan sejati. Ia meninggalkan istri dan anaknya tercinta demi mencari kebenaran tertinggi. Selama beberapa tahun ia mengembara sebagai seorang pertapa dan belajar dari guru-guru. Ia menyiksa dirinya dengan ekstrim untuk melupakan nafsu-nafsu duniawinya. Hal ini tidak membawanya kepada kebenaran dan kebebasan sejati. Akhirnya, ia pun meninggalkan tapa-nya yang ekstrim dan mulai menyeimbangkan pencarian kebenara tersebut. Ia menemukan dan memilih jalan tengah (Majjhimapatipada), dan bukannya jalan ekstrim, sebagai jalan mencapai kebebasan sejati.

Majjhimapatipada merupakan jalan mulia berunsur delapan dengan rincian: Manusia harus memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, tindakan benar, penghidupan benar, upaya benar, penyadaran benar dan pemusatan benar. Jalan mulia ini akan melenyapkan kelobaan, itikad jahat, kemarahan, rasa dendam, penghinaan, ketakaburan, keiri-hatian , kekikiran dan sifat negatif lainnya. Jalan tengah ini merupakan tuntunan hidup manusia untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari dan bernegara.

Sang Buddha, sebutan Pangeran Sidharta setelah mencapai kesucian tertinggi, mulai membabarkan ajarannya (dhamma) kepada umat manusia. Ajarannya tak lapuk oleh waktu, berlaku universal dan memberikan tuntunan yang abadi. Dalam Waisak ini, umat Buddha sebaiknya mencermati ajaran-ajarannya dan mempraktikkannya. Umat Buddha diminta untuk membagi dan menerangkan doktrin yang benar kepada yang belum mengetahuinya. Dhamma itu sahih dan selaras dengan perilaku masyarakat, dan dhamma tidak boleh dimanipulasi untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kolektif.

Umat Buddha Indonesia harus mulai membiasakan dirinya belajar dan mengamalkan dhamma. Pengenalan akan jalan tengah beruas delapan dan praktik keseharian akan menghilangkan gaya hidup negatif. Pendidikan agama Buddha di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi harus digalakkan. Kesejahteraan guru agama Buddha di sekolah-sekolah mulai diperhatikan. Kesalahkaprahan mengenai ajaran agama Buddha harus ditepis dan dihilangkan. Misalnya, konotasi bahwa agama Buddha milik etnis Cina harus dihapus. Juga konotasi agama Buddha menghambat kemajuan ekonomi harus ditepis. Buddhisme merupakan ajaran universal melewati batas-batas ras, bahasa dan budaya.

Kebebasan sejati dapat diperoleh oleh siapa saja yang melaksanakan jalan tengah. Kemelekatan akan materi pupus dan mereka dapat menyelaraskan dengan kebutuhan sehari-harinya dengan tak berlebihan. Jika setiap orang hidup berkecukupan, baik materi dan rohani, tidak berlebihan dalam mengkonsumsi, kesejahteraan akan tercapai. Partisipasi umat Buddha sangat ditunggu. Umat Buddha Indonesia diharapkan sumbang saran dan urun rembug dalam memperbaiki tata-nilai dan perilaku berbangsa dan bernegara.

Surabaya, 15 Mei 1997