BUDDHISME MENJAWAB ATAS KRISIS INI

 

Bangsa Indonesia telah didera krisis lebih dari setahun yang lalu dan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir. Rakyat pun mulai bertanya, untuk apa kita hidup ini? Untuk makan, politik, bekerja atau demo? Bagaimana umat Buddha menyikapi krisis ini dan mendukung perbaikan bangsa ini?

Jika kita belajar filsafat, pertanyaan berikut seringkali muncul: Sebenarnya untuk apa kita hidup? Sebagian orang mengisi hidupnya dengan ambisi dan berusaha memenuhi keinginan dirinya untuk hal-hal yang nomer satu (ethical egoism). Ada juga yang meninggalkan keduniawian dan berkorban demi kebahagiaan umat manusia (ethical altruism). Pangeran Siddhattha mengalami keduanya. Sewaktu dilahirkan hingga remaja dan berumah tangga, ia merupakan pangeran pewaris tahta kerajaan. Ia dapat menjadi orang nomer satu dan memuaskan egonya. Tapi hal ini tidak dilakukan dan ia pun meninggalkan keduniawian untuk mencari jawaban atas kehidupan ini. Pangeran Siddhattha mengorbankan dirinya demi manusia dan ia pun menjadi Buddha, manusia yang telah mendapatkan pencerahan dan tak terikat atas nafsu dan ambisi keduniawian.

Sekarang ini, keberhasilan manusia hidup diukur oleh berapa banyak materi yang dapat dikumpulkan, bukan diukur oleh bagaimana ia mengisi kehidupan ini dengan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pengejaran materi menciptakan manusia-manusia kaya bahkan konglomerat, mereka mengejar materi dengan menghalalkan segala cara. Rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun menciptakan konglomerat-konglomerat pencetak uang dengan fasilitas. Menganggap bahwa Orde Baru akan berkuasa selama-lamanya mereka lupa dengan mengisi bangsa ini dengan kegiatan yang bersih. Reformasi pun datanglah dan menggilas rejim Orde Baru, konglomerat pun mulai dipojokkan. Kolusi, korupsi dan nepotisme dalam mengejar kekayaan pribadi mulai diperiksa dan mencuat ke permukaan. Mereka mulai kepanasan dengan kenikmatan yang dahulu dikejar dengan tidak benar.

Sang Buddha mengajarkan kepada kita, bahwa manusia harus menghindari jalan ekstrim dalam kehidupan ini. Manusia tidak harus mengejar kekayaan seumur hidupnya, juga tidak perlu menyiksa diri dalam kekurangan selama hidupnya. Manusia harus dapat memilih Jalan Tengah dalam memenuhi kebutuhan duniawi. Jatuh bangun dalam kehidupan manusia adalah hal yang biasa. Manusia semestinya memperkecil jarak jatuh bangun ini dalam kehidupan agar tidak terjerumus dalam nafsu-nafsu rendah, seperti penjarahan, kemaksiatan dan sebagainya.

Orde Baru telah menciptakan jarak yang lebar antara yang kaya (the have) dan yang miskin (the poor). Tidak ada usaha memperkecil jarak ini. Kerusuhan demi kerusuhan muncul sebagai akibat ketidakpuasan atas penderitaan hidup. Apakah buruh dengan UMR dapat memiliki rumah yang layak? Hampir pasti jawabannya, tidak! Proses memanusiawikan bangsa Indonesia tidak terwujud dalam rentang waktu tiga dasawarsa ini. Mereka dijadikan mesin dan objek untuk mencetak uang. Mereka diadu-domba dengan isu SARA (suku, ras dan agama) agar mereka yang memiliki kemapanan dapat memperpanjang kenikmatan hidupnya.

Hal inilah yang dikatakan oleh Sang Buddha sebagai asal mula dukkha. Penderitaan bangsa Indonesia belumlah berakhir dengan mengerti akan asal mula dukkha. Duka yang berkepanjangan haruslah diakhiri dengan tindakan nyata.

Seringkali terdengar, umat agama lain memaparkan solusi alternatif atas krisis ini dari kaca mata agamanya. Bagaimana dengan umat Buddha? Apakah mereka telah memberikan masukan untuk pemecahan krisis ini? Sepengetahuan penulis, belum ada tulisan dalam media nasional yang memaparkan sudut pandang agama Buddha menjawab krisis bangsa ini.

Umat Buddha menyadari akan tiga sifat utama (tilakkhana) yang akan dijumpai pada kehidupan ini. Ketiga sifat itu: ketaklanggengan (anicca), penderitaan (dukkha) dan tanpa-aku (anatta). Ketiga sifat utama ini berhubungan satu dengan lainnya seperti diuraikan dalam Anattalakkhana Sutta. Ketaklanggengan menciptakan penderitaan. Teori tanpa-aku mendukung kesahihan ketaklanggengan dan penderitaan. Teori tanpa-aku menunjukkan bahwa meskipun manusia memiliki tubuh dan jiwa, ia tidak dapat memilih apa yang ia sukai. Misalnya, manusia tidak bisa memilih perasaan senang saja. Ia juga memiliki perasaan sedih. Dalam siklus hidup manusia, tiga sifat utama ini pasti terjadi dan melekat pada manusia yang belum mencapai pencerahan.

Selain itu, agama Buddha memberikan tuntunan hidup sehari-hari dan menjawab tantangan kehidupan ini. Agama Buddha mengajarkan Jalan Mulia Beruas Delapan untuk mencapai keseimbangan kebahagiaan fisik dan batin.

Jalan pertama, pandangan benar (samma ditthi). Manusia harus mengerti hakekat kebenaran dan hukum moral yang bekerja dalam kehidupan ini. Pemerasan atas manusia Indonesia demi kebutuhan materi pribadi akan merugikan orang banyak. Jika semua bangsa Indonesia memiliki pandangan benar atas kalimat di atas, tentulah krisis moneter berkepanjangan ini takkan terjadi.

Jalan kedua, pikiran benar (samma sankappa). Jika para penguasa dan rakyat memiliki pikiran benar dalam mengelola dan mengisi negara ini, kita tidak akan melihat kerusuhan dan penderitaan ini. Rakyat Indonesia harus memiliki pikiran yang benar mengenai tata-cara hidup secara damai dan menghilangkan pikiran-pikiran mengenai kekerasan dan sentimen agama dan ras.

Jalan ketiga, ucapan benar (samma vacca). Para pemimpin partai dan kaum reformis harus menyuarakan kebenaran, apa yang terucap dari mulutnya haruslah sesuai dengan hari nurani-nya dan keinginan masyarakat yang menginginkan perbaikan dan kemajuan. Banyak ditemui dalam koran, ternyata bicara benar sesuai dengan hati nurani sangat sulit untuk dilaksanakan. Pembentukan ratih (rakyat terlatih) ternyata tak bersambut, demo terjadi dan ratih ditunda. Suatu keputusan bijaksana pastilah diikuti masyarakat. Sedangkan keputusan yang membingungkan hati nurani akan ditentang. Kerusuhan biasanya dimulai dari ucapan-ucapan yang tidak benar, biasanya dipicu oleh provokator terlatih. Jika umat beda agama dan beda suku menjaga ucapannya dan selalu mengucapkan kebenaran, kerusuhan tidak akan terjadi.

Jalan ke-empat, tindakan benar (samma kammanta). Manusia haruslah menghindari diri akan pembunuhan atau pun penyiksaan atas makhluk hidup, juga membebaskan dirinya untuk mengambil barang milik orang lain. Pada rezim lama, seringkali terjadi penyitaan tanah untuk tujuan pribadi. Tindakan yang tidak benar ini mulai berbuah, para pemilik tanah yang dirampas hak-haknya terdahulu mulai protes. Projek mobil nasional mulai disorot karena merugikan negara triliunan rupiah. Perbuatan benar memang tidak mungkin menyenangkan semua orang, tapi akan menciptakan tata-masyarakat yang harmoni dan seimbang.

Jalan ke-lima, bermatapencaharian benar (samma ajiva). Mata pencaharian benar adalah mata pencaharian yang tidak menyusahkan atau pun membuat makhluk hidup lainnya menderita. Menjual ekstasi, pil-pil maksiat, memang menguntungkan si penjual, tapi merusak para pembeli yang kebanyakan remaja. Provokator dalam demo-demo juga menimbulkan kesulitan dan kesusahan bagi orang banyak. Rakyat menjadi resah, kerusuhan merugikan para pengusaha besar dan kecil, rumah dibakar dan lain-lain. Provokator adalah jenis pekerjaan yang harus dihindari umat Buddha.

Jalan ke-enam, upaya benar (samma vayama). Manusia harus mengupayakan menghindari perbuatan buruk, baik dengan tubuh, ucapan dan pikiran. Juga, mereka diimbau mengembangkan perbuatan baik, kebijaksaan dan kedamaian yang membawa pada kesempurnaan hidup. Pemimpin umat beragama di Indonesia telah melakukan usaha benar dalam proses penyadaran dan pendewasaan umat beragama. Mereka berupaya untuk mencegah disintegrasi bangsa dan keresahan akibat isu-isu SARA. Inilah usaha benar yang harus diikuti oleh umat Buddha dalam menyumbang perbaikan nasib bangsa ini.

Jalan ke-tujuh, penyadaran benar (samma sati). Manusia harus melakukan perhatian benar terus-menerus pada badan jasmani, perasaan, pikiran dan objek batiniah. Kesadaran akan bentuk-bentuk ini bermula dari pikiran, diikuti dengan perbuatan dan ucapan pastilah menghasilkan tingkahlaku yang selaras dengan ajaran agama. Dengan penyadaran benar, rakyat akan mempertimbangkan segala rencana tindakannya. Apakah melakukan demo dan perusakan tempat ibadah akan menguntungkan badan jasmani, perusaan, pikiran dan objek batiniah?

Jalan ke-delapan, pemusatan benar (samma samadhi). Pikiran yang terpusat merupakan bantuan kuat untuk melihat segala sesuatu apa adanya melalui pandangan terang. Pemusatan pikiran secara benar akan mengurangi kemelekatan manusia akan kesenangan indriawi.

Delapan jalan ini, jika dilaksanakan secara taat-asas oleh bangsa Indonesia dapat diprediksikan kerusuhan akan berkurang, rakyat akan menerima hidup sederhana dan perlahan-lahan membangun negeri ini. Perjuangan secara ekstrim menuntut pemerintah tidak akan memecahkan masalah secara keseluruhan. Perjuangan reformasi seyogyanya mencapai jalan tengah dengan titik-berat perbaikan kehidupan berbangsa baik secara fisik maupun rohani. Umat Buddha, terutama para pemuka agamanya, hendaknya menggencarkan jalan mulia beruas delapan ini demi kemajuan bangsa Indonesia.

Surabaya, 25 Desember 1998