REFORMASI KELEMBAGAAN AGAMA BUDDHA INDONESIA

Pada hari Rabu tanggal 4 Agustus 1999 pk. 14.00 Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) beserta pimpinan majelis-majelis agama Buddha yang terkait dengan KASI akan bertemu dengan Menteri Agama. Majelis-majelis agama Buddha yang terkait dengan KASI adalah Majelis Buddhayana Indonesia, Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia, dan Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia.

Dalam kesempatan itu KASI akan melaporkan kepada Menteri Agama bahwa setelah Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) dibubarkan pada tanggal 3 November 1998, maka pada tanggal 14 November 1998 ketiga Sangha (persaudaraan bhiksu) yang ada di Indonesia, yaitu: Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan Sangha Mahayana Indonesia telah berhimpun dalam wadah independen Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI). Naskah berdirinya KASI ditandatangani bersama oleh Bhiksu Dharmasagaro Mahasthavira (Ketua Umum Sangha Mahayana Indonesia), Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera (Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia), Bhiksu Aryamaitri Sthavira (Sekjen Sangha Agung Indonesia), dan Bhiksu Prajnavira Mahasthavira yang terpilih sebagai Sekjen KASI.

Menurut Kitab Suci Tripitaka, Sangha dan umat perumah-tangga merupakan kelompok yang berdiri masing-masing. Kehadiran Sangha adalah wajib hukumnya, sedangkan kehadiran organisasi awam (umat perumah-tangga) memang dipuji, tetapi bukan keharusan. Organisasi awam boleh diubah atau mungkin dibubarkan dan diganti baru, tetapi Sangha harus dipertahankan keberadaannya dengan segala ketentuan Vinaya (peraturan untuk bhiksu) sebagaimana tersebut dalam Kitab Suci Tripitaka.

Keberadaan Sangha bukan hanya bagian dari masyarakat Buddhis, tetapi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan setiap umat Buddha. Sangha merupakan tumpuan bakti setiap umat Buddha. Sungguh tidak pada tempatnya, dan sangat sulit untuk diakui lagi oleh masyarakat Buddhis sebagai umat Buddha bila seorang umat sudah mengabaikan apalagi menyisihkan keberadaan Sangha.

Keberadaan wadah tunggal yang didisain mencakup semua organisasi umat Buddha Indonesia dan mengharuskan Sangha termasuk di dalamnya, serta kebijakan bahwa untuk semua kegiatan harus mendapatkan rekomendasi dari wadah tunggal tersebut terlebih dahulu, sangat bertentangan dengan jiwa Dharma yang secara tertulis digariskan dalam Kitab Suci Tripitaka. Di era reformasi seyogianya instansi pemerintah dan semua pihak yang terkait dapat memperbaharui dan tidak lagi menciptakan peraturan dan pandangan yang tidak sejalan dengan Kitab Suci Tripitaka maupun semangat reformasi.

Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang dibentuk di era reformasi, tidaklah sama dengan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), walaupun menggunakan singkatan yang sama. Perwalian Umat Buddha Indonesia yang didirikan pada bulan Mei tahun 1979 oleh 3 (tiga) Sangha dan 7 (tujuh) majelis agama Buddha (organisasi umat Buddha awam) merupakan wadah tunggal yang didisain mencakup semua organisasi umat Buddha Indonesia, tetapi Perwakilan Umat Buddha Indonesia yang didirikan pada bulan Desember tahun 1998 hanyalah organisasi umat Buddha awam. Karena itu kemunculan Dewan Sangha dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia tidak dapat dibenarkan, sebab tidak sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Suci Tripitaka.

Kemunculan Dewan Sangha Walubi di samping telah melanggar aturan Kitab Suci, juga telah menjadikan adanya bhiksu dan bhiksuni di luar KASI, walaupun mayoritas bhiksu dan bhiksuni Indonesia (95 %) tergabung dalam KASI. Sebaliknya pembubaran Walubi (Perwalian) dan pembentukan Walubi (Perwakilan) yang penuh kontroversi serta sikap Walubi (Perwakilan) yang tidak menghormati keberadaan KASI, telah mengakibatkan Walubi (Perwakilan) tidak mendapat dukungan dari mayoritas umat Buddha kendati Walubi (Perwakilan) beranggotakan banyak majelis agama Buddha.

Mempelajari sejarah Perwalian Umat Buddha Indonesia yang sejak Munas II-nya hingga pembubarannya dipenuhi konflik kepentingan dan tindakan pemaksaan kehendak dengan menggunakan kekerasan, kiranya sudah waktunya lembaga tertinggi agama Buddha tidak lagi dicampuri oleh umat Buddha awam tetapi diserahkan sepenuhnya kepada Sangha, dalam hal ini KASI. Lembaga tertinggi tersebut berfungsi untuk menetapkan keputusan-keputusan Dharma (fatwa).

Organisasi umat Buddha awam, seperti Perwakilan Umat Buddha Indonesia dan majelis-majelis agama Buddha baik yang tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia maupun tidak, seyogianya bergerak dalam bidang sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan.

Mengingat adanya pembatasan jumlah agama yang diakui di Indonesia, maka berhimpunnya organisasi-organisasi yang membawa nama "agama Buddha" ke dalam suatu federasi tidak boleh dipaksakan, karena itu hanya akan menimbulkan konflik dalam mencari titik temu dalam doktrin maupun ritual. Dengan demikian lalu akan terpilah sendiri antara kelompok-kelompok umat Buddha awam yang berada dekat mainstream dan kelompok-kelompok yang jauh dari mainstream. Kelompok-kelompok yang berada dekat mainstream akan dapat bekerja sama dengan KASI secara lebih sempurna, sedang kelompok-kelompok yang jauh dari mainstream seyogianya dapat menerima keadaan ini dengan jiwa besar.

Semoga upaya menggunakan organisasi keagamaan untuk kepentingan pribadi dan intervensi pihak luar terhadap organisasi keagamaan tidak terjadi lagi. Pengalaman menunjukkan bahwa perubahan AD/ART Walubi secara inkonstitusional pernah menyebabkan para bhiksu dan bhiksuni kehilangan peran pentingnya. Perubahan AD/ART Walubi secara inkonstitusional itu sekaligus telah menjadikan Dewan Penyantun sebagai pihak yang sangat dominan dalam menentukan kebijakan organisasi. Adanya kondisi tidak sehat di mana para anggota pengurus mendukung ketua umum oleh karena memiliki ketergantungan ekonomi, seyogianya juga tidak boleh terjadi dalam organisasi keagamaan.

Dalam pertemuan dengan Menteri Agama, juga akan dilaporkan beberapa kegiatan KASI, antara lain: mengikuti Rapat Kerja II Komite Eksekutif VI World Buddhist Sangha Council (WBSC) di Sri Lanka pada tanggal 17-22 April 1999 dan mengadakan Waisak Bersama se-Sumatera Utara di Medan. Pimpinan World Buddhist Sangha Council (WBSC) menyambut dengan gembira terbentuknya KASI, sekaligus juga mengangkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita Maha Nayaka Sthavira (76 tahun, bhikkhu pelopor kebangkitan agama Buddha di Indonesia) sebagai Wakil Presiden WBSC.

Kesimpulan:

Di era reformasi dimungkinkan tidak adanya wadah tunggal, sehingga ketentuan Kitab Suci Tripitaka yang menyatakan organisasi bhiksu dan organisasi awam (umat perumah tangga) harus terpisah kini dapat diterapkan, terlebih setelah Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) dibubarkan.

Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) sebagai organisasi bhiksu merupakan lembaga keagamaan yang berfungsi untuk menetapkan keputusan-keputusan Dharma (fatwa). Seyogianya kini KASI yang duduk sejajar dengan MUI, KWI, PGI, dan PHDI.

Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) berbeda dengan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) karena hanya merupakan organisasi umat Buddha awam. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) bersama-sama organisasi-organisasi umat Buddha awam lainnya memiliki ruang lingkup kegiatan di bidang sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan.

Dengan memperhatikan hak asasi manusia, termasuk kebebasan berserikat dan memeluk keyakinannya masing-masing, KASI diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam membina kerukunan intern umat Buddha, terutama untuk memperkecil konflik-konflik antar organisasi umat Buddha awam yang merupakan warisan dari penerapan wadah tunggal pada masa Orde Baru.

Di era reformasi seyogianya instansi pemerintah dan semua pihak yang terkait dapat memperbaharui dan tidak lagi menciptakan peraturan dan pandangan yang tidak sejalan dengan Kitab Suci Tripitaka maupun semangat reformasi.

 

* * * * *

MENGEMBALIKAN TATANAN ORGANISASI UMAT BUDDHA

SESUAI DENGAN KITAB SUCI TRIPITAKA

Pimpinan semua organisasi Sangha (persaudaraan biksu) di Indonesia (Sangha Mahayana Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan Sangha Agung Indonesia) yang tergabung dalam Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) dan pimpinan Majelis-majelis agama Buddha pendukung KASI, yang terdiri dari : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudi), Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia, dan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), diterima oleh Menteri Agama RI pada hari Rabu, 4 Agustus 1999.

Pada kesempatan tersebut, para pimpinan umat Buddha menyampaikan landasan dibentuknya KASI kepada Menteri Agama, Bapak Prof. Drs. Malik Fadjar, MSc. KASI dibentuk pada tanggal 14 November 1998 oleh tiga organisasi Sangha yang mewadahi 95 % biksu-biksuni di Indonesia. Terbentuknya KASI merupakan usaha untuk mengembalikan tatanan organisasi umat Buddha sesuai dengan yang diamanatkan dalam kitab suci Tripitaka, dimana disebutkan adanya pemisahan antara parisadho (perhimpunan) untuk Sangha (rohaniwan) dan upasaka (umat awam). Ini juga sekaligus menjawab ketidakharmonisan pada Walubi Lama (Perwalian Umat Buddha Indonesia) dimana organisasi rohaniawan dan umat awam dicampur.

Konflik dalam tubuh Walubi Lama terjadi terutama sejak masuknya Siti Hartati Murdaya, konglomerat, yang ditempatkan sebagai ketua Dewan Penyantun. Namun dalam prakteknya Hartati inilah yang mengontrol segala-galanya didalam Walubi Lama, ibarat Presiden Komisaris sebuah perusahaan swasta. Puncaknya adalah pengeluaran Sangha Agung Indonesia (Sagin) dan MBI dari keanggotaan Walubi Lama, yang kemudian disusul dengan pengerahan aparat lintas sektoral dalam segala kegiatan Walubi Lama, teror serta penyetruman fungsionaris DPP Walubi Lama yang tidak patuh pada keputusan Hartati, dan masih banyak lagi tindakan-tindakan diluar norma agama.

Setelah reformasi bergulir, banyak tuntutan dari pemuda dan mahasiswa agar Walubi Lama mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tuntutan tersebut juga datang dari Sangha-sangha anggota Walubi Lama. Namun alih-alih menjawab tuntutan tersebut, Hartati malah menggelar Munas Khusus yang membubarkan Walubi Lama. Sebelum Walubi Lama dibubarkan, sebagian besar pimpinannya yang disponsori Hartati Murdaya telah membentuk wadah baru dengan nama Perwakilan Umat Buddha Indonesia dengan singkatan tetap Walubi. Pembentukan Walubi Baru ini tidak mengikutsertakan Sangha. Di Walubi Baru ini Hartati terang-terangan menduduki posisi Ketua Umum.

Walaupun dalam Walubi Baru terdapat apa yang disebut Dewan Sangha Walubi, namun pembentukannya dipertanyakan oleh banyak umat Buddha karena tidak diketahui manfaatnya serta tidak didukung oleh ketiga organisasi Sangha yang ada. Pembentukan Dewan Sangha Walubi tersebut juga telah menjungkirbalikkan tatanan yang sesuai dengan kitab suci, dimana Dewan Sangha tersebut dibentuk oleh DPP Walubi yang merupakan organisasi umat awam. Bahkan sesuai dengan ajaran Buddha yang berhak mengangkat upasaka (umat awam) adalah Sangha, bukan sebaliknya. KASI tidak keberatan Walubi menjadi wadah organisasi umat awam, sejauh tidak menjungkirbalikkan aturan-aturan Kitab Suci Tripitaka.

Jalan yang sesuai dengan kebenaran itu tidaklah selalu mulus, kehadiran KASI mendapat goncangan melalui upaya-upaya tidak sehat dari Siti Hartati Murdaya. Pertama adalah dengan membentuk Dewan Sangha Walubi yang berusaha menjadi tandingan KASI, Dewan Sangha Walubi sendiri berisi segelintir biksu Indonesia dan biksu-biksu warga negara asing (WNA) yang sengaja didatangkan dari Thailand, USA, dll. Kedua melalui siaran pers Walubi yang meminta para biksu senior yang tergabung dalam Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) untuk lepas jubah (kembali menjadi umat awam) dan menuding para biksu tersebut sebagai biksu liar. Ketiga adalah melalui Dirjen Bimas Hindu dan Buddha dengan surat No. H/BA.04.1/452/IV/99/RHS tanggal 19 April 1999 yang menyatakan tidak lagi membina KASI beserta Sagin dan MBI. Dan masih banyak usaha tidak terpuji lainnya untuk menggoyang, melecehkan dan mendiskriditkan KASI yang merupakan lembaga yang sangat dihormati seluruh umat Buddha Indonesia itu.

Walaupun banyak tantangan Sangha-sangha yang bergabung dalam KASI dan majelis-majelis umat pendukungnya bertekad untuk terus memperjuangkan kebenaran yang sesuai dengan tatanan yang diamanatkan dalam kitab suci.

Pimpinan KASI juga memperingatkan para pimpinan Walubi, khususnya Hartati Murdaya, untuk sadar dan dapat kembali ke jalan yang sesuai dengan ajaran Buddha, sehingga umat Buddha dapat hidup dengan rukun bersama-sama dengan seluruh masyarakat Indonesia menuju Indonesia baru yang lebih demokratis, dan harmonis.

Jakarta, 4 Agustus 1999

dikutip dari e-mail Hendri Tan dalam Milis Buddha.

* * * * *

MEDIA INDONESIA, Kamis, 2 September 1999

KASI Layak Wakili Umat Buddha dalam Segala Forum

JAKARTA (Media): Departemen Dalam Negeri menegaskan Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) layak mewakili umat Buddha Indonesia pada forum apa pun. Karena KASI merupakan organisasi tempat berhimpun para pemuka agama Buddha yang merupakan gabungan dari tiga organisasi yaitu Sangha Agung Indonesia, Sangha Mahayana, dan Sangha Theravada.

Penegasan KASI sebagai organisasi resmi umat Buddha ini tertuang dalam surat bernomor 455.5/1204 yang ditandatangani PLH Dirjen Sospol Depdagri Drs H Ragam Santika yang diterima Media, kemarin. Dengan adanya surat penegasan dari Depdagri itu berarti tidak benar sinyalemen Ketua Umum Walubi Siti Hartati Murdaya bahwa KASI merupakan kelompok sempalan umat Buddha.

Menurut PLH Dirjen Sospol Ragam Santika, KASI adalah organisasi umat Buddha yang didirikan pada 14 November 1998 di Jakarta dan telah terdaftar di Depdagri. "Oleh karena itu KASI layak mewakili umat Buddha dalam forum apa pun termasuk utusan golongan MPR," ujar Dirjen Sospol.

Dalam kesempatan yang sama Media juga menerima surat pernyataan kebenaran dari Ketua Umum Yayasan Vihara Dhammcakka Jaya Sunter Podomoro Biksu Subalaratana Mahathera yang tempatnya digunakan untuk rapat Walubi, Selasa lalu. Biksu Subalaratana menyatakan, Walubi tidak diperbolehkan untuk menggunakan Kompleks Vihara Jakarta Dhammcakka sebagai tempat rapat. "Apabila tetap memaksakan kehendaknya untuk rapat tanpa izin maka Walubi akan menanggung akibat baik dalam kehidupan ini maupun mendatang," tandas Biksu.

Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Walubi Siti Hartati Murdaya mengadakan rapat dan konferensi pers di vihara yang ternyata tidak mendapat izin. Walubi masuk ke vihara tersebut dengan cara paksa.

Menanggapi kemelut di tubuh umat Buddha dalam pencalonan utusan golongan MPR, Ketua Generasi Muda Buddhis Lius Sungkharisma mengharapkan masalah ini tidak meluas ke penghujatan pribadi. Semua perbedaan pendapat hendaknya dimusyawarahkan secara baik. "Saya yakin Ibu Hartati sebagai umat Buddha yang baik dapat berkomunikasi dengan para Sangha baik Terawadha, Mahayana
maupun Sangha Agung Indonesia yang tergabung dalam KASI," ujarnya. (Wdh/N-1)

* * * * *