Agama Buddha yang saya kenal

Sejak kecil, saya bersekolah yang bersifat non-buddhis dan mengikuti pelajaran agama non-Buddhis. Seharusnya dengan mengikuti sekolah non-Buddhis, saya menjadi non-Buddhis, sebagaimana yang terjadi pada teman-teman sekolahku. Tetapi, selama dua belas tahun saya merasa tidak sreg dengan ajaran tersebut. Saya mulai berkenalan dengan agama Buddha sewaktu kuliah di Universitas Indonesia, saya mulai mendapatkan teman-teman se-Dhamma dan belajar mengikuti kebaktian dan membaca paritta untuk pertama kalinya. Banyak teman yang menanyakan, kok Anda bisa bertahan selama 12 tahun tanpa pindah agama, sedangkan teman-temanmu banyak yang pindah. Mungkin karma yang pernah saya perbuat pada kehidupan yang lampau membuat saya tetap memeluk agama Buddha.

Selama dua belas tahun, saya mempelajari bahwa manusia tersebut hanyalah objek. Dengan mempercayai "God" mereka akan diselamatkan dan masuk ke surga. Masa kecil saya susah. Sedangkan dalam masyarakat luar saya melihat banyak yang hidup mewah dan kaya, apalagi di SMA saya bersekolah. Apakah ini takdir yang harus diterima? Apakah manusia hanya dapat berpasrah pada rencana "God"?

Saya seringkali mempertanyakan ketidaksamaan (inequality) dalam kehidupan ini pada saat mengikuti kegiatan retreat sewaktu sekolah. Para pembimbing tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Itu semua merupakan rencana besar, katanya. Saya pun meragukannya, kenapa saya ditakdirkan menjadi seorang yang kalah (loser), sementara yang lain hidup enak dan berfoya-foya.

Ajaran Buddha adalah ajaran manusia, bagaimana manusia bertingkah laku dan melakoni hidup ini dengan benar; bagaimana memperlakukan pasangan hidup, orang tua, teman dan masyarakat. Inilah keindahan ajaran Buddha. Semua orang dapat mencapai kebahagiaan berdasarkan perilaku mereka sendiri. Tidak ada bantuan dari supranatural being. Setiap manusia dengan usahanya sendiri dapat mencapai ke-buddha-an dan Nibbana.

Sebagai mahasiswa yang mendalami sains, saya sangat memperhatikan hukum sebab akibat dalam alam semesta. Hal ini selaras dengan hukum karma dalam agama Buddha. Hukum alam yang pasti akan berlaku dan bersifat universal. Siapa berbuat, dialah yang akan menuai hasil perbuatannya. Tak seorang pun yang dapat menghapuskan karma buruk, kecuali karma baik yang dilakukannya. Inilah inti ajaran Buddha yang membuat saya tertarik mempelajari agama Buddha selanjutnya. Suatu penjelasan yang masuk akal dan dapat dinalar.

Selama bertahun-tahun saya mempelajari agama Buddha, ajarannya selalu berpusat pada manusia. Tidak pernah menceritakan peranan "makhluk adikodrati" yang akan menyelamatkan manusia dan menghapus semua karma buruk. Manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Agama Buddha tidak pernah mengiming-imingi akan kehidupan yang bahagia. Inilah penyebab agama Buddha kurang diminati oleh umat yang menginginkan jalan pintas dan keluar dari permasalahan duniawi.

Ajaran Buddha bersifat ehipassiko, saya datang, saya lihat dan saya buktikan. Jika tidak berkenan di hati saya, saya dapat meninggalkannya. Konsep ini membuat ajaran Buddha ini terbuka dan dapat berdialog dengan doktrin-doktrin agama lainnya. Ajaran Buddha menjadi tidak dogmatis dan bisa diperdebatkan kebenaran dan kesahihannya. Diharapkan pandangan terang (samma-dithi) akan muncul setelah berdialog dengan ajaran Buddha.

Seringkali saya mendengar pernyataan skeptis, agama Buddha menyembah berhala. Inilah dogma yang bersifat peyoratif dan memojokkan umat Buddha. Umat non-Buddhis seringkali mencampuradukkan ajaran Buddha dan kepercayaan tradisional (kepercayaan Tionghoa dan kepercayaan Jawa), dimana pemujaan kepada dewa diwujudkan dalam bentuk patung. Umat Buddha menggunakan Buddharupam (patung Buddha) untuk membangun citra Buddha dan penghormatan dalam puja bakti. Sayangnya, umat Buddha sendiri kurang memiliki pengetahuan dalam menjawabnya. Inilah kelemahan yang membuat umat Buddha pindah agama. Untunglah di alam reformasi ini, membicarakan agama Buddha bisa lebih terbuka, persamaan dan perbedaan doktrin tidak perlu ditutup-tutupi. Saya mengimpikan, bahwa akan muncul cendekiawan Buddha yang kritis akan agamanya dan doktrinnya.

Komentar negatif lainnya: Umat Buddha tidak punya kitab suci. Jika ada, mana buktinya, kok tidak dibawa-bawa. Komentar ini agak sulit disanggah. Umat Buddha memiliki kitab suci Tipitaka (yang dilestarikan dengan lengkap dalam bahasa Pali), dan jauh lebih tebal daripada kitab suci lainnya. Fakta menunjukkan, belum ada kitab suci Tipitaka yang lengkap dalam bahasa Indonesia. Umat Buddha Indonesia kebanyakan memiliki Dhammapada dan potongan-potongan terjemahan Tipitaka. Di sini, mampu menunjukkan kitab suci merupakan bukti fisik pengalaman religi dan legitimasi sebagai umat beragama. Di negara Barat, negara tidak mencampuri kehidupan beragama warganegaranya.

Dalam agama Buddha, perwujudan religi dengan cara perayaan tidaklah terlalu digembar-gemborkan. Mempraktikkan ajaran Buddha adalah yang termulia. Mungkin inilah penyebab timbulnya istilah "agama Buddha KTP" karena umat Buddha jarang muncul di vihara atau cetiya. Di Indonesia, perwujudan religi dengan melakukan ritual dalam tempat ibadah adalah penting untuk menunjukkan eksistensi umatnya. Pertanyaan seperti, "Anda beribadah dimana?" merupakan pertanyaan umum dan seringkali diajukan. Padahal, masalah agama merupakan masalah pribadi dan keyakinan (saddha) seharusnya tidak dipertanyakan di depan publik.

Meskipun banyak serangan akan ajaran Buddha, saya tetap berpegang teguh pada ajaran Buddha. Ajaran Buddha akan semakin indah jika dipelajari dan dikaji terus menerus. Boleh juga diperdebatkan selama Dhamma tersebut memperkaya jiwa umatnya. Dhamma itu indah pada awalnya, pada pertengahan dan pada akhirnya. Saya akan berpegang teguh pada Dhamma. Sadhu, sadhu, sadhu.

Surabaya, Februari 2000